Jika Tidak Kapok Di Hukum, Bisakah Stalker Disembuhkan? – Terlepas dari pengalaman traumatik yang dialami banyak korban stalker, hanya 37 persen dari korban laki-laki dan 41 persen dari korban perempuan di Amerika Serikat melaporkan insiden stalking ke penegak hukum. Artinya ada di antara para korban, yang percaya bahwa penegakan hukum tidak dapat melakukan apa pun untuk membantu mereka. Padahal ada ancaman fisik yang mereka alami, tetapi banyak di antara korban yang tidak mengambil tindakan hukum.
Namun, keyakinan bahwa penegakan hukum tidak dapat membantu para korban ternetu memang sebagian benar. Meskipun tetap yang namanya hidup di negara hukum, maka melibatkan polisi dalam kasus stalking, adalah kewajiban warga negara yang terikat oleh hukum akan tetapi, masih ada batasan di mana pelaku stalking tidak begitu lama dikurung, karena faktor UU hukum pidana sendiri. Akibatnya, hampir 20 persen korban menyebut bahwa hukum tidak efektif melindungi mereka.
Juga banyak alasan lain mengapa stalking tidak dilaporkan. Sebagai contoh, banyak korban merasa bahwa situasi ini adalah masalah pribadi, walaupun beberapa negara telah mengatur adanya hukum untuk KDRT. Korban lain percaya bahwa kasus ini tidak penting atau mereka tidak memiliki bukti. Apalagi ada fakta jika 60 persen stalker melanjutkan perilaku mereka walau sudah dihukum oleh polisi.
Selain itu, undang-undang di AS juga mewajibkan harus ada berulang kali tindak pelecehan agar suatu kasus dianggap stalking. Meskipun, pihak penegak hukum mulai meningkatkan respons mereka terhadap stalker dengan bekerja sebagai tim dengan korban, profesional kesehatan mental, jaksa, dan petugas koreksi masyarakat, hal ini tidak serta-merta membuat korban merasa perlibatan aparat sebagai solusi.
Sehingga kita berharap adanya penyembuhan pada para stalker ini. Akhirnya saat stalker ditangkap dan dihukum, di dalam penjara pemerintah AS mencoba lakukan rehabilitasi pada pelaku stalker. Sekian banyak dokter juga tengah mengembangkan perawatan untuk para stalker dalam penjara sehingga mereka diminta intropeksi, menghentikan perilaku destruktif, dan beralih menjadi warga negara yang baik.
Ambil contoh Frank Farnham, seorang psikiater forensik yang terkenal, yang telah mulai merawat sekian banyak stalker berbahaya. Meskipun mereka mengakui bahwa mereka telah melakukan tindakan tercela, dokter mengatakan bahwa kunci untuk merawat stalker adalah menghentikan tindakan menghakimi sikap mereka. Banyak stalker yang tampak muluk-muluk dan narsis, tetapi itu tidak lebih dari sekadar menutupi harga diri yang rendah.
Begitu para stalker menyadari bahwa perilaku mereka bisa melukai diri sendiri juga orang lain, maka mereka bisa di ajak pulih. Banyak stalker juga menderita penyalahgunaan zat, depresi, atau penyakit mental/kejiwaan akibat mengalami kekalahan terus menerus dalam bermain, sehingga dengan terapi kejiwaan serta obat repulsan dari obat sebelumnya, bisa sangat efektif.
Dr Farnham melihat para stalker, pertama dan terutama, sebagai orang yang membutuhkan bantuan. “Mereka benar-benar kacau” katanya. Sejauh ini, 80 stalker telah dirujuk ke klinik oleh sistem peradilan pidana. 25 orang yang ditangani oleh Farnham, enam orang di antaranya telah pulih sepenuhnya dari serangan neurotik yang membuat mereka menstalking orang lain atau orang dekatnya.
Perawatan tersebut mengambil bentuk penilaian psikiatrik dan psikologis bersama di mana Farnham bersama para stalker mencoba mencari tahu asal amarah yang melibatkan para korban. Lalu Dikunci di situ untuk dicarikan solusinya. Jika ternyata penjara bisa jadi solusi penyembuhan, maka tinggal mendorong para korban untuk melapor kepada aparat saat terjadi tindak stalking terhadap mereka.